KONFLIK AGAMA
1. Pengertian Konflik Agama
a. Pengertian Konflik
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere
yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan
sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga
kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain
dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
b. Pengertian Agama
Dalam
kamus besar Bahasa Indonesia, kata ‘agama’ berarti suatu sistem,
prinsip kepercayaan terhadap Tuhan (Dewa dsb) dengan ajaran kebaktian
dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. Kata
‘agama’ dapat juga didefinisikan sebagai perangkat nilai-nilai atau
norma-norma ajaran moral spiritual kerohanian yang mendasari dan
membimbing hidup dan kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun
sebagai warga masyarakat.
Jadi, konflik agama dapat diartikan sebagai berikut :
Konflik
agama adalah suatu pertikaian antar agama baik antar sesama agama itu
sendiri, maupun antar agama satu dengan agama lainnya.
2. Contoh Konflik Agama
Contoh konflik
a. Tahun 1996, 5 gereja dibakar oleh 10,000 massa di Situbondo karena adanya konflik yang disebabkan oleh kesalahpahaman.
b. Adanya
bentrok di kampus Sekolah Tinggi Theologi Injil Arastamar (SETIA)
dengan masyarakat setempat hanya karena kesalahpahaman akibat kecurigaan
masyarakat setempat terhadap salah seorang mahasiswa SETIA yang dituduh
mencuri, dan ketika telah diusut Polisi tidak ditemukan bukti apapun.
Ditambah lagi adanya preman provokator yang melempari masjid dan masuk
ke asrama putri kampus tersebut. Dan bisa ditebak, akhirnya meluas ke
arah agama, ujung-ujungnya pemaksaan penutupan kampus tersebut oleh
masyarakat sekitar secara anarkis.
c. Perbedaan pendapat antar kelompok – kelompok Islam seperti FPI (Front Pembela Islam) dan Muhammadiyah.
d. Perbedaan penetapan tanggal hari Idul Fitri, karena perbedaan cara pandang masing – masing umat.
3. Penyebab Konflik Agama
Sepanjang
sejarah agama dapat memberi sumbangsih positif bagi masyarakat dengan
memupuk persaudaraan dan semangat kerjasama antar anggota masyarakat.
Namun sisi yang lain, agama juga dapat sebagai pemicu konflik antar
masyarakat beragama. Ini adalah sisi negatif dari agama dalam
mempengaruhi masyarakat Dan hal ini telah terjadi di beberapa tempat di
Indonesia.
Pada
bagian ini akan diuraikan sebab terjadinya konflik antar masyarakat
beragama khususnya yang terjadi di Indonesia dalam perspektif sosiologi
agama.
Hendropuspito mengemukakan bahwa paling tidak ada empat hal pokok sebagai sumber konflik sosial yang bersumber dari agama.
Dengan
menggunakan kerangka teori Hendropuspito, penulis ingin menyoroti
konflik antar kelompok masyarakat Islam - Kristen di Indonesia, dibagi
dalam empat hal, yaitu:
A. Perbedaan Doktrin dan Sikap Mental
Semua
pihak umat beragama yang sedang terlibat dalam bentrokan masing-masing
menyadari bahwa justru perbedaan doktrin itulah yang menjadi penyebab
dari benturan itu.
Entah
sadar atau tidak, setiap pihak mempunyai gambaran tentang ajaran
agamanya, membandingkan dengan ajaran agama lawan, memberikan penilaian
atas agama sendiri dan agama lawannya. Dalam skala penilaian yang dibuat
(subyektif) nilai tertinggi selalu diberikan kepada agamanya sendiri
dan agama sendiri selalu dijadikan kelompok patokan, sedangkan lawan
dinilai menurut patokan itu.
Agama
Islam dan Kristen di Indonesia, merupakan agama samawi (revealed
religion), yang meyakini terbentuk dari wahyu Ilahi Karena itu memiliki
rasa superior, sebagai agama yang berasal dari Tuhan.
Di
beberapa tempat terjadinya kerusuhan kelompok masyarakat Islam dari
aliran sunni atau santri. Bagi golongan sunni, memandang Islam dalam
keterkaitan dengan keanggotaan dalam umat, dengan demikian Islam adalah
juga hukum dan politik di samping agama. Islam sebagai hubungan pribadi
lebih dalam artian pemberlakuan hukum dan oleh sebab itu hubungan
pribadi itu tidak boleh mengurangi solidaritas umat, sebagai masyarakat
terbaik di hadapan Allah. Dan mereka masih berpikir tentang pembentukan
negara dan masyarakat Islam di Indonesia. Kelompok ini begitu agresif,
kurang toleran dan terkadang fanatik dan malah menganut garis keras.
Karena
itu, faktor perbedaan doktrin dan sikap mental dan kelompok masyarakat
Islam dan Kristen punya andil sebagai pemicu konflik.
B. Perbedaan Suku dan Ras Pemeluk Agama
Tidak
dapat dipungkiri bahwa perbedaan ras dan agama memperlebar jurang
permusuhan antar bangsa. Perbedaan suku dan ras ditambah dengan
perbedaan agama menjadi penyebab lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan
antar kelompok dalam masyarakat.
Contoh
di wilayah Indonesia, antara Suku Aceh dan Suku Batak di Sumatera
Utara. Suku Aceh yang beragama Islam dan Suku Batak yang beragama
Kristen; kedua suku itu hampir selalu hidup dalam ketegangan, bahkan
dalam konflik fisik (sering terjadi), yang merugikan ketentraman dan
keamanan.
Di
beberapa tempat yang terjadi kerusuhan seperti: Situbondo, Tasikmalaya,
dan Rengasdengklok, massa yang mengamuk adalah penduduk setempat dari
Suku Madura di Jawa Timur, dan Suku Sunda di Jawa Barat. Sedangkan yang
menjadi korban keganasan massa adalah kelompok pendatang yang umumnya
dari Suku non Jawa dan dari Suku Tionghoa. Jadi, nampaknya perbedaan
suku dan ras disertai perbedaan agama ikut memicu terjadinya konflik.
C. Perbedaan Tingkat Kebudayaan
Agama
sebagai bagian dari budaya bangsa manusia. Kenyataan membuktikan
perbedaan budaya berbagai bangsa di dunia tidak sama. Secara sederhana
dapat dibedakan dua kategori budaya dalam masyarakat, yakni budaya
tradisional dan budaya modern.
Tempat-tempat
terjadinya konflik antar kelompok masyarakat agama Islam - Kristen
beberapa waktu yang lalu, nampak perbedaan antara dua kelompok yang
konflik itu. Kelompok masyarakat setempat memiliki budaya yang sederhana
atau tradisional: sedangkan kaum pendatang memiliki budaya yang lebih
maju atau modern. Karena itu bentuk rumah gereja lebih berwajah budaya
Barat yang mewah.
Perbedaan
budaya dalam kelompok masyarakat yang berbeda agama di suatu tempat
atau daerah ternyata sebagai faktor pendorong yang ikut mempengaruhi
terciptanya konflik antar kelompok agama di Indonesia.
D. Masalah Mayoritas da Minoritas Golongan Agama
Fenomena
konflik sosial mempunyai aneka penyebab. Tetapi dalam masyarakat agama
pluralitas penyebab terdekat adalah masalah mayoritas dan minoritas
golongan agama.
Di
berbagai tempat terjadinya konflik, massa yang mengamuk adalah beragama
Islam sebagai kelompok mayoritas; sedangkan kelompok yang ditekan dan
mengalami kerugian fisik dan mental adalah orang Kristen yang minoritas
di Indonesia. Sehingga nampak kelompok Islam yang mayoritas merasa
berkuasa atas daerah yang didiami lebih dari kelompok minoritas yakni
orang Kristen. Karena itu, di beberapa tempat orang Kristen sebagai
kelompok minoritas sering mengalami kerugian fisik, seperti: pengrusakan
dan pembakaran gedung-gedung ibadat.
Terjadinya konflik tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :
1. Karena
tidak adanya keampuhan Pancasila dan UUD 45 yang selama ini menjadi
pedoman bangsa dan negara kita mulai digoyang dengan adanya amandemen
UUD 45 dan upaya merubah ideologi negara kita ke ideologi agama
tertentu.
2. Kurangnya rasa menghormati baik antar pemeluk agama satu dengan yang lainnya ataupun sesama pemeluk agama.
3. Adanya kesalahpahaman yang timbul karena adanya kurang komunikasi antar pemeluk agama.
Setelah
melakukan penelitian dan diskusi lintas agama di Indonesia selama
bertahun-tahun, bagi Associated Professor yang merupakan alumni UKSW
ini, konflik agama di Indonesia disebabkan oleh; pertama, meningkatnya konservatisme dan fundamentalisme agama. Kedua, keyakinan bahwa hanya ada satu intepretasi dan kebenaran yang absolute. Ketiga, ketidakdewasaan umat beragama. Keempat, kurangnya dialog antaragama. Kelima, kurangnya ruang public dimana orang-orang yang berbeda agama dapat bertemu. Keenam, kehausan akan kekuasaan. Ketujuh, ketidakterpisahan antara agama dan Negara. Kedelapan, ketiadaan kebebasan beragama. Kesembilan, kekerasan agama tidak pernah diadili. Kesepuluh, kemiskinan dan ketidakadilan. Kesebelas, hukum agama lebih diutamakan ketimbang akhlak orang beragama.
4. Penanggulangan Konflik Agama
Agama
sebuah keyakinan. Bukan barang mainan. Setiap orang bersedia melakukan
apa saja, demi keyakinan agama. Inilah yang harus diperhatikan oleh
semua golongan, agar tidak bertindak sewenang-wenang. Karena hanya akan
menyulut perang antara agama.
Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menangani konflik antar agama :
· Dalam
menangani konflik antaragama, jalan terbaik yang bisa dilakukan adalah
saling mentautkan hati di antara umat beragama, mempererat persahabatan
dengan saling mengenal lebih jauh, serta menumbuhkan kembali kesadaran
bahwa setiap agama membawa misi kedamaian.
· Tidak
memperkenankan pengelompokan domisili dari kelompok yang sama didaerah
atau wilayah yang sama secara eksklusif. Jadi tempat tinggal/domisili
atau perkampungan sebaiknya mixed, atau campuran dan tidak mengelompok
berdasarkan suku (etnis), agama, atau status sosial ekonomi tertentu.
· Masyarakat pendatang dan masyarakat atau penduduk asli juga harus berbaur
atau membaur atau dibaurkan.
atau membaur atau dibaurkan.
· Segala macam bentuk ketidakadilan struktural agama harus dihilangkan atau
dibuat seminim mungkin.
dibuat seminim mungkin.
· Kesenjangan sosial dalam hal agama harus dibuat seminim mungkin, dan sedapat – dapatnya dihapuskan sama sekali.
· Perlu
dikembangkan adanya identitas bersama (common identity) misalnya
kebangsaan (nasionalisme-Indonesia) agar masyarakat menyadari pentingnya
persatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Perlu
dicari tokoh masyarakat yang dipercaya dan/ atau dihormati oleh
pihak-pihak yang berkonflik, untuk berusaha menghentikan konflik
(conflict intervention), melalui lobi-lobi, negosiasi, diplomasi. Hal
ini merupakanusaha peace making.
Dalam
usaha untuk mengembangkan adanya perdamaian yang lestari, atau adanya
rekonsiliasi, maka metode yang dipakai oleh pihak ketiga sebaiknya
adalah mediasi dan bukan arbitrase. Dalam arbitrase, pihak ketiga
(pendamai) yang dipercaya oleh pihak-pihak yang bertentangan/berkonflik
itu, setelah mendengarkan masing-masing pihak mengemukakan masalahnya,
maka si arbitrator “mengambil keputusan dan memberikan solusi atau
penyelesaiannya, yang “harus” ditaati oleh semua pihak yang berkonflik.
Penyelesaian
konflik melalui jalan arbitrase mungkin dapat lebih cepat diusahakan,
namun biasanya tidak lestari. Apalagi kalau ada pihak yang merasa
dirugikan, dikalahkan atau merasa bahwa kepentingannya belum diindahkan.
Sebaliknya,
mediasi adalah suatu cara intervensi dalam konflik, di mana mediator
(fasilitator) dalam konflik ini juga harus mendapat kepercayaan dari
pihak yang berkonflik. Tugas mediator adalah memfasilitasi adanya dialog
antara pihak yang berkonflik, sehingga semuanya dapat saling memahami
posisi maupun kepentingan dan kebutuhan masing-masing, dan dapat
memperhatikan kepentingan bersama.
Jalan
keluar atau penyelesaian konflik harus diusulkan oleh atau dari
pihak-pihak yang berkonflik. Mediator sama sekali tidak boleh
mengusulkan atau memberi jalan keluar/penyelesaian, namun dapat
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membantu pihak-pihak yang
berkonflik untuk dapat mengusulkan atau menemukan jalan penyelesaian
yang dapat diterima oleh semua pihak. Mediator tidak boleh memihak,
harus “impartial”, tidak bias, dsb.
Mediator
harus juga memperhatikan kepentingan-kepentingan stakeholders, yaitu
mereka yang tidak terlibat secara langsung dalam konflik, tetapi juga
mempunyai kepentingan-kepentingan dalam atau atas penyelesaian konflik
itu. Kalau stakeholders belum diperhatikan kepentingannya atau
kebutuhannya, maka konflik akan dapat terjadi lagi, dan akan meluas
serta menjadi lebih kompleks dan dapat berlangsung dengan
berkepanjangan.
Mengembangkan kegiatan pendamaian itu tidak mudah. Ada beberapa tahapan atau perkembangan yang dapat kita amati yaitu:
a. Peace
making (conflict resolution) yaitu memfokuskan pada penyelesaian
masalah – masalahnya (isunya: persoalan tanah, adat, harga diri, dsb.)
dengan pertama-tama menghentikan kekerasan, bentrok fisik, dll. Waktu
yang diperlukan biasanya cukup singkat, antara 1-4 minggu.
b. Peace
keeping (conflict management) yaitu menjaga keberlangsungan perdamaian
yang telah dicapai dan memfokuskan penyelesaian selanjutnya pada
pengembangan/atau pemulihan hubungan (relationship) yang baik antara
warga masyarakat yang berkonflik. Untuk itu diperlukan waktu yang cukup
panjang, sehingga dapat memakan waktu antara 1-5 tahun.
c. Peace
building (conflict transformation). Dalam usaha peace building ini yang
menjadi fokus untuk diselesaikan atau diperhatikan adalah perubahan
struktur dalam masyarakat yang menimbulkan ketidak-adilan, kecemburuan,
kesenjangan, kemiskinan, dsb. Waktu yang diperlukan pun lebih panjang
lagi, sekitar 5-15 tahun.
Konflik
antarumat beragama itu di Indonesia akhir-akhir ini rupa-rupanya
sengaja dibuat atau direkayasa oleh kelompok tertentu atau kekuatan
tertentu untuk menjadikan masyarakat tidak stabil. Ketidakstabilan
masyarakat ini dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan politis maupun
ekonomis, oleh berbagai pihak. Hal ini sangat berbahaya, karena konflik
horizontal dapat dimanipulasi menjadi konflik vertikal, sehingga
menimbulkan bahaya separatisme dan disintegrasi nasional atau
disintegrasi bangsa.
Untuk
menghadapi masalah-masalah konflik dengan kekerasan yang melibatkan
umat berbagai agama dalam suatu masyarakat, diperlukan sikap terbuka
dari semua pihak, dan kemampuan untuk memahami dan mencermati serta
menganalisa sumber-sumber konflik. Demikian juga diperlukan adanya
saling pengertian dan pemahaman kepentingan masing-masing pihak, agar
dapat mengembangkan dan melihat kepentingan bersama yang lebih baik
sebagai prioritas, lebih daripada kepentingan masing-masing pihak yang
mungkin bertentangan.